Selasa, 10 Maret 2015

Duka Itu Masih Ada

January 23, 2010 at 9:52pm
(Untuk Dona, Gandung, dan Teman2 XVI)

Kampus FIB, UI Depok,13 Maret 2 tahun lalu
Setelah makan siang, aku berjalan ke mushola kecil di pinggir danau. Sejuk rasanya berada di Mushola itu. Sejenak ku lemparkan pandangan jauh ke seberang danau. Ada banyak gedung di balik rimbunnya hutan kampus ini. Melihat danau itu.. aku teringat sebuah danau lain nun jauh di sana, di balik rimbunnya belantara. Lima memit lalu hujan baru reda. Jalanan setapak di sekitar hutan kampus ini lembab. Masih tercium bau debu tersiram air hujan... Aroma yang sangat aku sukai,seperti juga aku menyukai aroma belukar dan rumput-rumput liar. Dengan tanpa setahuku, aku mendapati diriku membelah hiruk-pikuk Raya Margonda. Langkah kakiku menuntunku menuju sebuah perumahan sederhana... ke sebuah rumah.... yang gambarannya jelas kudapati sampai jauh di alam bawah sadarku.  Sampai di depan pintu, aku ragu mengetuk...Terdengar jawaban salam dan langkah tergopoh dari dalam. Tak lama berselang seraut wajah tua muncul di balik pintu. Lipatan-lipatan kulit di wajahnya mengingatkanku pada Ibu, Ibuku yang juga semakin renta dirayapi usia, Ibuku yang selalu dengan ikhlas berpuasa dan sholat malam untukku... "Cari siapa Nak?" sapanya lembut, tetap saja aku terhenyak. Aku menyodorkan tanganku, dia menjabatnya...dingin rasanya... sampai ubun-ubun... "Saya temannya Mas Pras, Bu..." "Oh ya.., silahkan masuk Nak". Aku duduk perlahan di kursi beludru maroon. Masih seperti dulu.... Rumah ini masih seperti saat itu, ketika aku dan teman2 serta pejabat kampus mengantarkan jenazah Pras ke keluarganya. Hanya saja, wajah ibu bijak ini belum serenta sekarang. Masih segar dalam ingatanku, dia mencoba untuk tidak meneteskan air mata di depan gundukan tanah merah itu. Justru akulah yang rapuh, dalam setiap taburan bunga yang perlahan ku lepas dari tanganku menyeruak penyesalan dan caci maki untuk diriku sendiri. "Dia sekarang sudah aman di dalam bivaknya", ucapku setengah berbisik kepada Gandung yang saat itu berdiri di sampingku. Entahlah dia mendengarnya atau tidak, karena akupun tidak mengharapkan komentar dari mulutnya yang setengah tertutup rambut gondrong yang dipermainkan angin itu. Ah andai saja aku dapat memutar mesin waktu... 10 hari yang lalu aku bertemu Pras dengan wajah tenangnya (sungguh sangat mirip dengan Ibunya). 10 hari kemudian aku dan Gandung mengawalnya di dalam ambulance yang kami pinjam dari sebuah Rumah Sakit. Sepertinya aku mati rasa saat itu, mual, kunang-kunang. Tapi sungguh, aku mengharapkan tubuh kaku itu bangun dengan tiba-tiba dan memprotes kenapa dia diletakkan di blankar tanpa busana. Sampai Jakarta...., Minggu pagi... Tubuh itu diletakkan di sebuah ruangan. Sepertinya sudah ada yang mempersiapkan tempat untuknya, sekaligus mobil jenazah yang menghantarkannya ke rumah duka. Mualku sampai pada puncaknya, aku setengah berlari ke kamar kecil, mengeluarkan isi perut yang memang belum aku isi sejak kemarin sore. "Oh ... ini temannya Mas Pras ya..." suara laki-laki tua memporakporandakan rentetan peristiwa yang baru saja aku mengingatnya. "Iya Pa, Bagaimana Kabar Bapak? Sehat?" Aku mencoba menanggapi sapaannya. Ah.. wajah bapak inipun tak kalah renta.... Tapi aku selalu menyukai kesederhanaannya. Kamipun berbincang cukup lama, tentang kegiatan sehari-harinya yang selalu diisi di rumah, tentang rencananya untuk kembali ke desa, tentang anak-anak perempuannya yang sudah mulai bekerja...tentang... Ya Tuhan, aku kembali mengutuki diri sendiri... Bagaimana tidak, Pras adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini.. Anak laki-laki yang menjadi tumpuan harapan meneruskan garis keturunan... Mengapa dia harus hilang karena hipotermia, atau karena keteledoran, atau karena apalah namanya... Dadaku sesak... sama sesaknya setiap kali aku menyebut nama Pras dalam doaku. (Jakarta, 13 Maret 2009)
sahabats

Tidak ada komentar:

Posting Komentar